Kasus Pelanggaran Ham Di Papua

Kasus Pelanggaran Ham Di Papua – Demonstrasi yang digelar di depan Gedung Negara Jakarta pada Rabu (17/12) menuntut pemerintah mengusut tuntas para pelaku penembakan di Panyai, Papua (foto: VOA/Fathiyya).

Selang delapan tahun, kejaksaan menyerahkan berkas pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) di Kabupaten Paniai Papua ke pengadilan. Terdakwa adalah mantan komandan militer wilayah I.S., yang kini menjadi pensiunan tentara.

Kasus Pelanggaran Ham Di Papua

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kjejagung), Ketut Sumedana membenarkan hal itu dalam jumpa pers, Rabu (15/6) sore.

Edisi 66 Akhir Pekan 8 Oktober 2016

“Hari ini Rabu, 15 Juni 2022, Jaksa Direktorat Pelanggaran Berat HAM, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, atas nama terdakwa I.S. pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran tahun 2014 dalam peristiwa Paniya di Provinsi Papua ke Pengadilan HAM, Pengadilan Negeri Khusus Kelas 1A, Makassar,” kata Ketut, yang juga mengatakan provinsi telah menunjuk 34 jaksa dalam kasus tersebut.

Tragedi Paniai terjadi pada 8 Desember 2014. Pada hari itu, anggota TNI memukuli sekelompok pemuda. Padahal, warga yang menuntut penjelasan atas kejadian tersebut adalah korban kekerasan aparat. Akibat penembakan itu, sedikitnya empat warga tewas dan 21 warga luka-luka.

IS adalah petugas penghubung markas militer distrik Panyai (Kodim) pada saat kejadian. Ia dinyatakan bersalah atas tragedi tersebut karena tidak mencegah tindakan kekerasan bersenjata yang dilakukan anak buahnya.

“Kasus pelanggaran HAM berat terjadi karena tidak ada kontrol efektif atas komando militer yang secara de jure dan de facto berada di bawah kekuasaan dan kontrolnya,” tambah Ketut.

Pemerintah Sebaiknya Mendukung Keputusan Komnas Ham Terkait Paniai • Amnesty International Indonesia

Juga diyakini bahwa ISIS tidak mencegah atau menghentikan aksi pasukannya. Selain itu, oknum TNI tidak menyerahkan pelaku kekerasan kepada pihak berwajib.

“Makanya dilakukan penyelidikan pendahuluan, penyelidikan pendahuluan dilakukan dan sekarang sedang dilakukan penuntutan pidana dan hari ini kasusnya diserahkan dan kami berharap dalam waktu dekat ada sidang,” imbuhnya. katanya lagi.

Seorang mahasiswa memegang spanduk saat demonstrasi menentang pelanggaran HAM, korupsi dan pencemaran lingkungan di Jakarta pada 28 Oktober 2019. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan)

IS dijerat pasal 42 ayat 1, pasal 9a, pasal 7 huruf b tahun 2000. UU No. 26 Pengadilan Hak Asasi Manusia dan § 40, § 9, § 9, paragraf 7, huruf b dan § 40, paragraf 7, b UU. TIDAK. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Eks Wakapolres Paniai Ngaku Tak Tahu Soal Pelanggaran Ham Berat, Hakim Marah

Meski ini sebuah langkah maju yang patut diapresiasi, penetapan IS sebagai tersangka tunggal dalam kasus ini patut dikritisi. Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan (LP3BH) Manokwari Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Ian Christian Varinusi mengatakan kepada VOA bahwa lebih dari satu pelaku harus dituntut.

“Kami yakin pekerjaan ini dilakukan oleh tersangka yang tidak hanya satu orang, tetapi beberapa orang yang terlibat. Itu berarti siapa mereka di lapangan. Kemudian, selain IS, harus ada pihak lain yang disebut bertanggung jawab. Namun ternyata hanya ISIS yang ditetapkan sebagai tersangka dan dibawa ke Pengadilan HAM hari ini,” kata Warinusi.

Dengan persidangan yang sudah berjalan, tugas kejaksaan kini menunjukkan bahwa penembakan yang terjadi dan menewaskan empat warga Pania itu bukan hanya kehendak tersangka ISIS. Kejaksaan harus bisa menjelaskan apakah ISIS benar-benar tidak mampu mengendalikan pasukan, atau gagal melakukannya.

“Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Makassar, ternyata ini bukan hanya kesengajaan, tapi juga karena ISIS tidak bisa mengontrol anggota atau prajuritnya; ada pelanggaran berat hak asasi manusia, kata Varinusi.

Dialog Damai Untuk Penyelesaian Pelanggaran Ham Di Papua

Perwakilan Dewan Daerah Panya Papua (kanan) mendatangi kantor Komnas HAM di Jakarta untuk mengadukan dugaan pelanggaran aparat keamanan (7/12).

Ia menceritakan, pada aksi tahun 2014 lalu, keempat korban semuanya adalah pelajar yang masih berseragam. Mereka tidak membawa senjata apa pun dan hanya bergerak bersama ke lapangan Karel Gobu, Paniya, untuk berdemonstrasi. Oleh karena itu, Varinusi berkeyakinan bahwa aksi kekerasan bersenjata ini tidak dilakukan oleh satu orang saja.

“Tindakan itu juga dilakukan oleh petugas saat itu. Ini berarti itu adalah instalasi militer. Tapi sepertinya ini ditangani sebagai murni ketidakmampuan prajurit dan bukan tindakan institusi, kata institusi Kementerian Dalam Negeri, yang telah melakukan pelanggaran HAM berat, ”ujarnya.

Varinus juga mengingatkan konteks undang-undang ini dalam Pasal 7, 8, dan 9 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal 7 menyatakan bahwa ada dua jenis pelanggaran berat hak asasi manusia: genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sering Lakukan Kekerasan Terhadap Warga Sipil, Aparat Keamanan Harus Ditarik Dari Papua

Pasal 8 mendefinisikan kejahatan genosida sebagai tindakan menghancurkan atau bermaksud untuk memusnahkan, seluruh atau sebagian, kelompok bangsa, ras, etnis dan agama dengan pembunuhan yang menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok tersebut. kehidupan kelompok yang mengarah pada likuidasi fisik, penggunaan tindakan yang ditujukan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok, pemindahan paksa anak dari satu kelompok ke kelompok lain. Sementara itu, Pasal 9 mendefinisikan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai tindakan berupa serangan besar-besaran atau terkoordinasi yang ditujukan langsung terhadap penduduk sipil.

Beberapa contoh kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, kekerasan seksual, penganiayaan, perampasan kebebasan, dll.

Penyelesaian tragedi Panya adalah janji lama Jokowi saat berkunjung ke Jayapura pada 27 Desember 2014.

“Saya menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban kekerasan. Saya ingin kasus ini segera diselesaikan agar hal seperti ini tidak terjadi lagi. Kita ingin negara Papua kembali menjadi negara yang damai,” kata Jokowi saat itu.

Keluarga Korban Kasus Pelanggaran Ham Wamena Tahun 2003 Tolak Tawaran Pemerintah

Kejaksaan Agung menyerahkan kasus pelanggaran HAM berat Paniai ke Pengadilan Negeri Khusus Kelas 1A Makassar, Rabu (15/6), screenshot.

Butuh waktu lima tahun bagi Komnas UA untuk membentuk tim. Komnas AMU Munafrizal Manan menyebut tim dalam catatan lembaga ini dalam konferensi pers yang digelar di kantornya, Jumat, 5 April 2019.

“Jadi Komnas AUM memang masih bekerja untuk menuntaskan penyidikan atas peristiwa Pania dan saat ini Komnas AUM melakukannya dalam kerangka hukum UU 26 Tahun 2000,” kata Munafrizal saat itu.

Setelah hampir setahun bekerja, Komnas HAM akhirnya menyatakan tragedi Pania sebagai pelanggaran HAM berat pada 3 Februari 2020. Komnas HAM selanjutnya menyerahkan kasus dan kesimpulan penyidikan kepada Kejaksaan Agung pada 11 Februari 2020. Pada 19 Maret, Kejaksaan Agung mengembalikan berkas tersebut dengan alasan tidak memenuhi syarat formil dan materiil. Komnas HAM mengembalikan berkas pada 14 April 2020 dan pada 20 Mei 2020 Kejaksaan Agung mengembalikan berkas dengan alasan yang sama seperti sebelumnya.

Dapatkah Tim Penyidik Kejaksaan Agung Mengungkap Kasus Pelanggaran Ham Di Paniai, Papua

Setelah mendapat desakan dari berbagai pihak, terutama para aktivis LSM, Kejaksaan Agung melalui jaksa pidana khusus yunior akhirnya mengumumkan kasus Paniai atas nama tersangka IS dinyatakan ditutup. Perkara ini bernomor: 01/BERKAS-PEL.HAM.BERAT/04/2022 06.04.2022.

1 Pencegahan penyakit ginjal kronis melalui deteksi dini 2 Taiwan mencurigai kapal China meretas kabel internet bawah laut 3 Rencana kehadiran timnas Israel di baris U-20 4 Mahfoud MD. Senat AS Selidiki Intelijen Kepala Badan Terhadap Teknologi China dan Ancaman Jakarta, IDN Times – Irwan Wenda, 21, meninggalkan rumahnya pada 8 Agustus 2013 sekitar pukul 10.00 waktu setempat. Seorang pemuda Papua berkebutuhan khusus melakukan perjalanan ke Pasar Wuma, Dataran Tinggi Wamena, Kabupaten Jayapura, Papua.

Dua anggota keluarganya mengikuti Irvan dan mengajaknya pulang, Irvan menolak, malah ia mengambil sebatang tebu dan menggunakannya untuk memecahkan jendela toko dan rumah di sepanjang jalan utama dan mencoba menghalangi mobil yang lewat.

Setelah berjalan sekitar 500 meter, Irvan mendekati kediaman polisi tersebut dan dihentikan oleh polisi lain yang sedang tidak bertugas. Polisi ini baru saja selesai shalat di masjid terdekat.

Jenderal Andika Janji Kawal Kasus Pelanggaran Ham Di Papua

Usai berbincang, Irvan tiba-tiba memukul polisi tersebut dengan tebu yang dimilikinya. Polisi langsung masuk ke rumahnya dan kembali ke Irvan dengan membawa senjata laras panjang. Tanpa aba-aba, polisi tersebut menembak Irvan sebanyak tiga kali di kaki kiri, perut, dan kepala dari jarak sekitar 2 meter.

Inilah kisah awal Irwan, satu dari 69 kasus pembunuhan dan impunitas di Papua. Amnesty International Indonesia menerbitkan cerita Irwan: “Tidak apa-apa, Kasi membiarkannya mati.” Killing and Impunity in Papua” adalah judul yang diambil dari kutipan pelaku yang membunuh seorang aktivis muda dari Wamena.

“Judul ini tidak mencakup semua kasus, tapi setidaknya menggambarkan bagaimana orang yang terbunuh tidak diperlakukan dengan baik. Kami telah menyusun laporan ini sejak 2016 dan membatasi diri pada kasus pembunuhan di luar proses hukum. Kami tidak mengklaim bahwa laporan ini menggambarkan semua kasus di Papua, karena banyak kasus yang terjadi. Ada komplikasi baru, konflik regional, korupsi, penyiksaan jika menyangkut hak asasi manusia,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia. , dalam peluncuran laporan tersebut di Hotel Alila Jakarta, Senin (7/2/2018).

Laporan tersebut mencatat setidaknya 95 kematian dalam 69 kasus pembunuhan di luar hukum dari Januari 2010 hingga Februari 2018.

Singgung Floyd, Pemuda Papua Ingatkan Hak Hukum Yang Sama

Dalam dua dekade sejak reformasi Indonesia tahun 1998, Amnesty International sering menerima laporan dugaan pembunuhan di luar hukum (

) oleh aparat keamanan negara bagian Papua dan Papua Barat. Pembunuhan ini sebagian besar terjadi dalam konteks penggunaan kekuatan yang tidak perlu atau berlebihan terhadap protes massa, selama operasi penegakan hukum, atau karena motivasi pribadi aparat keamanan.

Amnesty International mencatat, antara Januari 2010 dan Februari 2018, terdapat 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan di Papua, termasuk polisi, TNI dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), yang mengakibatkan 95 kematian.

Dari 69 kasus tersebut, 34 kasus diduga melibatkan oknum polisi, 23 kasus TNI, dan 11 kasus gabungan TNI-Polri, serta satu kasus lainnya melibatkan Satpol PA.

“Kalau kita kaji lebih jauh mayoritas dari 69 kasus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like