Kasus Pelanggaran Ham Di Indonesia

Kasus Pelanggaran Ham Di Indonesia – Salah satu janji Presiden Joko Widodo sejak berkuasa pada 2014 adalah menjamin hak perlindungan dan pemulihan bagi korban pelanggaran HAM masa lalu.

Padahal, pelanggaran HAM berat seperti yang terjadi pada tahun 1965, Tanjung Praik 1984, Telangsari 1989, Treski 1998, Semangi I dan Semangi II dan pelanggaran HAM besar lainnya masih terus dilakukan oleh pemerintah. Indonesia.

Kasus Pelanggaran Ham Di Indonesia

Sejauh ini belum ada langkah konkrit yang diambil untuk mengatasi masalah ini secara bersih dan rapi. Para korban pelanggaran HAM ini tidak mendapatkan perlindungan dan keadilan.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Jawa Tengah Menjadi Fokus Utama Yang Harus Diselesaikan

Menurut beberapa pakar hukum dan HAM, banyak penyebab pelanggaran HAM di Indonesia yang sulit diselesaikan dan para korban sulit mendapatkan keadilan.

Kata Mohan. Fadel, seorang guru besar hukum pidana di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, Indonesia, telah menyusun undang-undang penting, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR), yang bertujuan untuk menangani kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia untuk melaporkan. dan pelanggaran HAM. Untuk memenuhi hak-hak kaum tertindas, untuk menghadapi penderitaan kaum tertindas.

Namun, pada tahun 2006, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU KKR karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memberikan jaminan hukum. Meski RUU KKR saat ini sedang dibahas kembali di parlemen nasional berdasarkan rekomendasi Kamnas Ham, namun putusan Mahkamah Konstitusi saat itu membuat harapan transparansi tertahan.

Menurut Fazil, permasalahan yang terkait dengan undang-undang ini mencerminkan kompleksitas impunitas bagi para pelaku kejahatan, karena sistem pemasyarakatan masih terkontaminasi oleh orang-orang yang melakukan kejahatan berat terhadap hak asasi manusia selama undang-undang baru.

Sketsatorial: 4 Kasus Besar Pelanggaran Ham Di Indonesia

Dalam bukunya “Serial Crimes Against Human Rights Trials”, Prof. Harij dari Fakultas Hukum Universitas Gadja Mada Prof. pengadilan Penegakan hukum, sedangkan arena politik berada di tangan para penjahat itu sendiri.

Artinya, proses perencanaan kebijakan penegakan hukum. Itu adalah salah satu penghalang yang menghalangi pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi mereka yang telah dianiaya di masa lalu, yang telah membantu memperkuat penghalang untuk memaafkan.

Untuk mengatasi ketidakadilan ini, menurut Fazil, perlu penguatan peran masyarakat sipil dan pengawasan bagaimana RUU KKR akan dibahas di parlemen nasional.

Kemudian, untuk mengatasi masalah instabilitas di kementerian, pemerintah dan lembaga terkait, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), perlu menerapkan proses seleksi pejabat yang ketat untuk mengisi jabatan di lembaga negara. dan institusi.

Penyelesaian Kasus Pelanggaran Ham Berat Butuh Kebijakan Berbasis Perlindungan Korban

Menurut Ogundafs Jonda, dosen hukum internasional dan hukum internasional dari Universitas Tanah Air, implementasi regulasi saat ini tidak cukup untuk memenuhi hak-hak yang telah dilanggar dengan melanggar hak anak Adam.

Padahal, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memberikan kompensasi atau restitusi, dan menjamin perlindungan lainnya.

Informasi lebih rinci tentang ganti rugi dan pemberian ganti rugi juga diatur dalam Pasal 98 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Sayangnya, kompensasi dan kompensasi penuh belum dilaksanakan secara efektif dan efisien. Sebab, menurut hukum pengadilan HAM, kompensasi dan ganti rugi akan diberikan melalui putusan pengadilan.

Arah Legislasi Dan Penantian Penuntasan Kasus Ham Di 2021

Ogyandhafiz menyebut peristiwa 1965 sebagai contoh, di mana para korban atau keluarganya menunggu lebih dari 50 tahun tanpa mendapatkan keadilan. Para korban menunggu keputusan pengadilan untuk mendapatkan haknya.

Menurut Ogyandhafiz, pemerintah harus segera menunjukkan niatnya untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pelanggaran HAM dengan lebih banyak upaya dan tindakan, mulai dari tingkat penindakan hingga pemulihan hak-hak para korban.

Menurut Nunak Nurhiyati, guru besar hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, penanganan pelanggaran HAM melalui sistem KKR lebih mengutamakan prosedur non-yudisial atau non-persidangan.

(Melupakan dan memaafkan), yaitu menghapus hukum dan melupakan apa yang terjadi di masa lalu. Pengampunan dan pengampunan tidak langsung mungkin persis seperti yang diinginkan pelaku. Produk ini tidak hanya bertentangan dengan harapan para korban, tetapi akan melanjutkan keputusan dan tidak akan menimbulkan dampak apa pun.

Kasus Ham Berat Yang Tersorot

“, (tidak melupakan dan tidak memaafkan). Artinya, peristiwa masa lalu akan ditindaklanjuti menurut hukum. Tindakan akan diambil terhadap mereka yang melakukan kejahatan dan jika mereka terbukti bersalah, mereka akan dihukum.

(Jangan lupa, tapi kemudian maafkan). Dengan kata lain, kasusnya sudah mulai terungkap, kebenaran harus diungkapkan, dan mereka yang melakukan kejahatan harus diampuni. Produk ini didasarkan pada proses arbitrase.

Menurut Nunak, pemerintah seharusnya menggunakan sistem lain untuk menghukum kejahatan terhadap kemanusiaan di masa lalu karena Indonesia adalah negara hukum. Pengadilan HAM adalah sesuatu yang harus ada agar keadilan yang sebenarnya ada.

Saat ini, pendekatan non-yudisial lebih cocok untuk model pertama. Banyak orang mengabaikan hal ini, terutama para korban dan keluarganya.

Contoh Contoh Kasus Pelanggaran Ham Di Indonesia

Kalaupun pemerintah menginginkan pendekatan non-yudisial, yaitu melalui KKR, pemerintah harus mengikuti aturan umum yang telah diterima dunia, yaitu kewajiban negara untuk memenuhi pelanggaran HAM. Hak untuk mengetahui (berbicara di depan umum). Istana Negara, Jakarta pada Rabu (17/12) meminta pemerintah mengusut tuntas pelaku penembakan di Penai, Papua (Foto: VOA/Fatiyah).

Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) telah memulai persidangan terhadap terdakwa kasus Pelanggaran HAM Penay 2014 di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan pekan ini. Keluarga korban masih belum percaya bahwa persidangan ini akan memberikan keadilan.

Saat membahas persidangan, Tineke Rumkabu, Ketua Persatuan untuk Kebenaran (BUK), kelompok yang memerangi pelanggaran HAM, kembali meragukan status terdakwa dalam kasus tersebut. Oleh karena itu, wajar jika keluarga korban menanyakan keterlibatan tersangka pelaku lainnya.

“Makanya kami merasa dengan tindakan seperti itu kami orang Papua merasa tidak mendapatkan keadilan dari pemerintah atau negara,” ujarnya dalam wawancara yang dilakukan LBH Maxar.

Pengadilan Ham Paniai Jadi Barometer

Tanki mengingatkan, sistem peradilan kali ini bisa mirip dengan sistem peradilan kasus berdarah Abipura tahun 2000 yang tidak memberikan keadilan bagi para korban dan masyarakat Papua secara keseluruhan.

Perwakilan Dewan Kebudayaan Daerah Paniai, Papua (kanan) mendatangi kantor Kamnas HAM di Jakarta untuk mengadukan dugaan penganiayaan aparat keamanan (7/12).

Selain itu, sistem hukum yang berlaku di Makassar mempersulit keluarga korban untuk melacaknya, karena masalah akses dan mahalnya biaya hidup. Tineke juga berspekulasi bahwa janji Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Papua untuk mengatasi pelanggaran HAM di sana tidak terbukti.

“Apa yang dikatakan Presiden Jokowi sepertinya melunakkan hati rakyat Papua, atau hati para korban dan keluarganya yang menunggu keadilan dari negara ini,” katanya.

Komisi Iii Dpr Kaji Pembentukan Kkr Untuk Ungkap Kasus Ham Masa Lalu

Yunus Do, seorang pengacara dan pendukung keluarga korban pelanggaran HAM di Panay, juga menilai negara melindungi para pelaku kejahatan yang sebenarnya dalam kasus ini. Tidak hanya dalam kasus ini, dalam beberapa kasus, seperti penembakan yang berujung kematian Pendeta Jeremiah Zanambani, tidak ada penyidikan. Ini juga terjadi di Dagai, dimana aparat keamanan menembak dan membunuh 2 orang. Sejauh ini, para tersangka belum diadili.

“Kita tidak bisa main-main. Kalau mau membantu, bantulah dengan cara yang benar. Tapi kita tahu negara sedang berusaha meningkatkan reputasinya di tingkat internasional,” kata Yunus.

Evakuasi salah satu korban di Kabupaten Intan Jaya, Papua, Sabtu, 26 Oktober 2019. (Foto: Kapendam XVII/Cenderawasih)

Pengadilan di Penia dipandang sebagai upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat internasional. Tidak ada kasus pelanggaran HAM di Papua.

Utang Yang Tak Kunjung Lunas: Pelanggaran Ham Berat Pada Masa Lalu

Pendeta Mathis Adadkem, direktur Pusat Penelitian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) menilai penolakan keluarga korban untuk menghadiri persidangan di Maksar adalah tanda ketidakpercayaan.

“Korban kembali, itu tanda ketidakpercayaan mereka bahwa kasus yang diharapkan korban dan keluarganya mendapatkan keadilan sesuai hukum, jauh dari apa yang mereka harapkan.”

Direktur LBH Mukesar Muhammad Haider mengatakan dengan tegas bahwa percobaan ini dilakukan bukan untuk mencapai tujuan apapun. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM berat adalah kerja yang terorganisir, terorganisir dan meluas. Sulit memikirkan penampilan lain yang bisa mengisi peran ini, apalagi oleh seorang aktor.

Sebagai orang yang berkecimpung di bidang hukum, Haider mengaku sulit membayangkan bagaimana jaksa akan menyusun dakwaan dalam kasus ini.

Menanti Penyelesaian Kasus Pelanggaran Ham Berat

“Karena bangunan itu harus memenuhi unsur-unsurnya, dan unsur-unsur itu harus teratur, terstruktur dan terdistribusi. Sangat sulit untuk menggugat orang yang sebenarnya harus berkumpul,” katanya.

Aktivis membawa poster saat demonstrasi untuk menarik perhatian pada masalah HAM di Papua, di depan kedutaan Belanda di Jakarta, saat kunjungan Raja Belanda Willem-Alexander pada 12 Maret 2020. (Foto: AFP)

LBH Makassar mengharapkan seluruh proses investigasi terbuka dan dapat diakses oleh semua pihak. Tidak ada tekanan, terutama bagi mahasiswa atau warga Papua di Makassar yang ingin ke pengadilan.

Sekjen Lembaga Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Hebro menyayangkan Komnashem secara tidak langsung terlibat dalam pemikiran negara dalam menyelesaikan masalah tersebut. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus pembunuhan Pendeta Jeremiah Zanambani.

Data Pengaduan Ham 2020

Salah satu hal yang menguatkan adalah tidak adanya urut-urutan kasus berdasarkan laporan Kamnas HAM. Padahal, Polri dan TNI adalah institusi yang berfungsi di bawah perintah di atas. Jika tatanan kerja rusak, fokus aparat keamanan juga rusak.

“Kami melihatnya sengaja ditempatkan sebagai tanggung jawab pribadi. Oleh karena itu, jika bagian komando tidak ada, maka otoritas yang bertanggung jawab juga tidak ada. Sepertinya itu rencana untuk semua orang, jadi biasanya sama dengan kejahatan,” kata Julius.

Koordinator Contras Fatima Muldiyanti menilai sidang Penay di Makassar digelar sebagai sidang HAM karena Presiden Jokowi ingin memberi kesan bahwa sidang pada saat itu sudah selesai, pemerintahannya. Ini juga pernah terjadi pada tahun 2014, ketika Jokowi menjadi presiden.

Karena berbagai kegagalan dan kekurangannya, Fatiya berharap proses di Makassar tidak menjadi model dalam menyelesaikan persoalan lain terkait pelanggaran HAM.

Jokowi Akui 12 Peristiwa Pelanggaran Ham Berat

Atau contoh-contoh pengadilan HAM lainnya yang akan terjadi di masa depan. Karena ada banyak tahapan yang tidak baik dan tidak sempurna. Itu hanya menunjukkan bahwa kasus Panay adalah sebuah pola,” kata Fatiya.

Di sisi lain, Varia Advina,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like