Berita Tentang Pelanggaran Ham Di Indonesia – Contoh pelanggaran HAM di Indonesia dapat ditemukan pada semua rezim yang berkuasa dan terjadi sejak awal kemerdekaan. Berikut detailnya.
Contoh pelanggaran HAM di Indonesia dapat ditemukan di setiap rezim yang berkuasa. Kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia terjadi sejak awal kemerdekaan dan tercatat dalam sejarah.
Hak Asasi Manusia adalah hak dasar dan kebebasan bagi semua orang, tanpa memandang kebangsaan, jenis kelamin, suku, agama, ras, bahasa dan status lainnya. Hak asasi manusia harus dihormati dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, kasus pelanggaran HAM masih sering terjadi.
Menurut situs Hukum Online, pengertian pelanggaran HAM adalah sebagai berikut mengacu pada Pasal 1 No. 6 UU No. 39 Tahun 1999.
“Setiap orang atau kelompok, termasuk pejabat pemerintah, yang dengan sengaja atau tidak sengaja atau karena kelalaiannya, membatasi, membatasi, membatasi, atau dengan lalai membatasi, membatasi, membatasi, atau dengan lalai hak asasi manusia setiap orang atau kelompok yang dijamin oleh undang-undang, dan yang lalai untuk mendapatkan pemulihan atau ketakutan yang adil dan wajar atas dasar proses hukum yang sesuai.”
Pelanggaran HAM Ringan dan Pelanggaran HAM Berat Dikutip dari penelitian “Perlindungan Hak Tersangka/Terdakwa Pelanggaran HAM Berat” oleh Imelda Irina Evangelista Randang dalam Lex Criminology Journal (2018).
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyatakan bahwa pelanggaran HAM berat dapat dibagi menjadi dua kategori: genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Contoh Pelanggaran HAM di Indonesia Sejak Indonesia merdeka, banyak terjadi pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM di Indonesia adalah sebagai berikut, dihimpun dari berbagai sumber: Sejak pria kulit hitam George Floyd terbunuh di tangan polisi AS, ia telah membuat Papua menjadi sorotan. Orang melihat banyak kesejajaran antara rasisme sistemik di Indonesia, khususnya Papua, dan di AS.
Pada saat yang sama, International Indonesia telah menyampaikan laporan tentang situasi HAM di Papua kepada Komite HAM PBB.
Menurut laporan tersebut, selain diskriminasi rasial, masih banyak masalah lain di Papua yang belum terselesaikan. Ini beberapa.
Secara internasional, setidaknya 95 orang Papua ditemukan tewas di tangan aparat keamanan antara Januari 2010 dan 14 Mei 2020.
Kematian terjadi ketika aparat keamanan menggunakan kekuatan berlebihan tanpa mengikuti prosedur hukum, seperti ketika menghadapi protes damai, kerusuhan, berkelahi atau menangkap tersangka.
Sampai saat ini, tidak ada mekanisme yang efektif dan independen untuk pengaduan masyarakat tentang pelanggaran HAM oleh aparat keamanan. Para korban berjuang untuk menemukan keadilan, kebenaran dan reparasi. Investigasi terhadap pembunuhan di luar hukum juga jarang terjadi.
Agustus-September lalu, sekelompok orang menyerang asrama mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya, meneriakkan makian rasial seperti “monyet”. Video penyerangan ini menjadi viral, membuat warga Papua turun ke jalan di beberapa kota.
Sementara beberapa protes berubah menjadi kekerasan, sebagian besar berlangsung damai. Namun, polisi terus bereaksi berlebihan. Sedikitnya 96 orang ditangkap karena menggunakan haknya untuk berkumpul dan berkumpul. Salah satu dakwaan melibatkan enam aktivis yang dituduh makar karena mengorganisir protes 28 Agustus di depan istana presiden.
Tidak seorang pun harus dipenjara karena menggunakan haknya secara damai. Jika seseorang ditangkap karena penyerangan, tahanan hanya boleh menggunakan kekerasan jika perlu, wajar dan proporsional.
Tahun lalu, enam aktivis – Dano Tabuni, Charles Kosai, Ambrosius Awalt, Isai Wenda, Ariana Lokbare dan Suriya Anta Ginting – ditangkap dan dipenjara karena mengorganisir demonstrasi damai di depan istana kepresidenan di Jakarta. Namun, pengacara mereka mengatakan bahwa selama dalam tahanan, polisi tidak mengizinkan mereka untuk menemani mereka selama interogasi dan memberikan pendampingan hukum. Hal ini bertentangan dengan prinsip due process.
Keenam aktivis tersebut telah dibebaskan. Namun, setidaknya 50 aktivis Papua masih berada di balik jeruji besi karena menggunakan haknya secara damai. Semua didakwa dengan makar, yang mengancam penjara seumur hidup. Adalah baik untuk memiliki akses ke pengacara di semua tingkat hukum.
Pada September 2019, pemerintah memutuskan untuk “mematikan sementara” internet di Papua dan Papua Barat menyusul protes mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya atas penahanan dan perlakuan rasis. Alasannya untuk mencegah penyebaran berita palsu dan mempercepat keamanan.
Polisi juga menangkap dua aktivis HAM, Veronica Koman dan Dandi Dewi Lacsono, karena melaporkan kejadian di Papua. Kata-kata Veronica tunduk pada pasal penghasutan dan Dundee didakwa menghasut kebencian di bawah SARA.
Media sosial dan internet membantu jurnalis mengakses berbagai sumber informasi, mengurangi ketergantungan mereka pada pernyataan resmi pemerintah. Upaya pemerintah untuk mengontrol arus dan akses informasi dengan mematikan Internet, membatasi akses Internet dan menghukum aktivis adalah pelanggaran hak asasi manusia.
Dengan menutup saluran komunikasi daring, pemerintah membatasi akses masyarakat Papua terhadap informasi, mencegah mereka menyampaikan pandangan, dan menghambat penyebaran informasi kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Pada 2 Desember 2018, Tentara Pembebasan Nasional Operasi Papua Merdeka, kelompok oposisi bersenjata, terlibat dalam pembunuhan 28 pekerja konstruksi di Kabupaten Nduga. Sebagai tanggapan, militer meluncurkan kampanye besar-besaran di wilayah tersebut, memaksa ribuan orang bermigrasi ke tempat lain.
Pengungsi dari Nduga hidup dalam kondisi tidak manusiawi, tanpa layanan dasar seperti listrik, perawatan kesehatan, dan sanitasi. Anak-anak juga sulit mendapatkan pendidikan.
Laporan relawan mengatakan sedikitnya 5.000 pengungsi tewas di rumah mereka. Dari jumlah tersebut, 138 orang meninggal. Belum ada informasi lebih lanjut mengenai jumlah pengungsi yang meninggal di luar Kabupaten Jayawajaya, termasuk yang dibawa ke hutan.
Mereka harus diberikan status pengungsi oleh pemerintah untuk menerima perawatan kesehatan dan persediaan makanan biasa. Saat ini, bantuan sembako para relawan tidak lancar, obat-obatan sulit didapat, dan bantuan psikologis yang mereka terima tidak terjamin keakuratannya. Situasi ini menimbulkan kengerian dan ketakutan yang tak berkesudahan.Kepala Dinas Penerangan dan Keamanan (Kabaintelcam) Polri Komjen Paulus Waterpaw menjelaskan, setidaknya ada 11 kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. .
Menurutnya, banyak kasus yang dibawa ke dunia kriminal tidak mengandung unsur pelanggaran HAM. Belakangan, banyak juga kasus yang tidak bisa diselesaikan dengan UU HAM, karena kasusnya belum ada kerangka hukumnya.
“Untuk menghadapi itu semua, waktu saya jadi Kapolda, waktu Pak Menko Polhukam memberi kami kesempatan, alhasil kami tangani,” kata Paulus dalam sambungan telepon di Jakarta, Senin. (10/5).
Pertama, penyanderaan Apenduma terjadi pada 9 Januari 1996, dan kasus ini sebelum UU HAM No. 39 Tahun 1999, sehingga pemerintah tidak bisa mengandalkan kerangka hukum ini untuk menyelesaikan kasus.
Ia mengatakan, diperlukan keputusan politik dari DPP saat itu untuk menyelesaikan masalah tersebut. Hal yang sama terjadi pada kasus kedua, pemberontakan 2-6 Juli 1998 di Biak Numphor.
Karena pada tahun UU HAM 2000 belum dicabut, maka hal ini dimintakan penetapannya oleh DPR RI.
Ketiga, lanjut Waterpaw yaitu penyerangan 7 Desember 2000 ke Mapolsek Abe. Keempat, kasus hilangnya Aristoteles Masoka pada 10 November 2001 saat ini sedang dalam penyelidikan Polda Papua dan Satgas Gabungan Polda Papua. Kodam Cenderawasih.
Dakwaan kelima adalah peristiwa Wasior yang terjadi pada 2001. Menurut Paulus, Komnas Hamm sedang mengusut kasus tersebut dan mengatakan kasus tersebut akan ditinjau kembali oleh Kejaksaan Agung.
Lebih lanjut mereka menjelaskan bahwa pada tanggal 16 Maret 2006 telah terjadi kerusuhan di Unsen (Universitas Senderwasih). Saat itu diputuskan bahwa kasus ini bukan merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Beberapa aktor yang terlibat dalam kasus ini bahkan telah dibawa ke pengadilan pidana karena dugaan pelanggaran.
“Oleh karena itu sifatnya kriminal. Penyerangan dilakukan oleh pelaku kejahatan terhadap korban secara bersama-sama,” jelas Waterpauw dalam materi yang dibawanya.
Kasus ketujuh adalah meninggalnya Opinus Tabuni di Provinsi Jayawajaya pada 9 Agustus 2008. Menurutnya, kasus ini sudah berlangsung lama dan tidak mudah diselesaikan.
Dakwaan kedelapan adalah penangkapan Yawan Wayeni di Provinsi Yapen pada 3 Agustus 2009. Ia mengatakan, penyidikan kasus ini berjalan baik oleh kepolisian.
Beberapa anggota Brimob yang terlibat dalam kasus ini dibawa ke pengadilan dan dihukum sesuai prosedur internal kepolisian.
Kesembilan adalah kasus Kongres Rakyat Papua Ketiga, yang diadakan pada 19 Oktober 2011, di mana pihak berwenang diduga secara brutal membubarkan kegiatan konvensi dan diduga menyiksa banyak peserta. . Kasus ini masih dalam penyelidikan pihak kepolisian.
Kesepuluh, Waterpaw mengusut penangkapan Mako Tabuni di Jayapura pada 14 Juni 2012. Namun, kasus ini belum teridentifikasi sebagai pelanggaran HAM.
Terakhir, kasus yang dipaparkan Waterpaw adalah insiden Panayi yang terjadi pada 8 Desember 2014. Dalam kasus ini, empat pemuda ditembak mati aparat keamanan terhadap warga sipil, Departemen Luar Negeri AS dibebaskan. Pemberitaan HAM di berbagai negara, termasuk Indonesia. Menurut laporan tersebut, Pedulilindungi telah melanggar privasi.
Pemerintah Amerika Serikat menyebut permohonan Pedulilindungi sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Tuduhan ini tercermin dalam laporan Departemen Luar Negeri AS tentang praktik HAM di beberapa negara, termasuk Indonesia. Selain aplikasi Pedulilindungi, laporan ini juga menyoroti beberapa isu lain yang terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia.
(COVID 19). Aplikasi ini berfungsi sebagai salah satu persyaratan untuk perjalanan dan aktivitas baik di dalam maupun luar kota. Penggunaan aplikasi ini berada di bawah kewenangan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Kesehatan (Kemankes) dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pelanggaran privasi pada aplikasi Pedulilingi Aplikasi Pedulilingi dianggap telah melanggar hak asasi manusia, khususnya yang berkaitan dengan privasi informasi warga. Aplikasi ini menyimpan informasi tentang status vaksinasi seseorang dan sejumlah besar informasi pribadi yang dapat dikumpulkan, disimpan, dan digunakan oleh pemerintah.
Pelanggaran hak privasi oleh polisi Laporan tersebut secara khusus mengutip hukum Indonesia yang mewajibkan surat perintah penggeledahan kecuali dalam kasus yang berkaitan dengan vandalisme, kejahatan ekonomi dan korupsi. “(Tapi) polisi di seluruh negeri terkadang bertindak tidak tepat