
Allah Maha Pemberi Dalam Asmaul Husna Disebut – Asmaul Husna berarti nama-nama Tuhan yang indah, baik, agung dan mulia sesuai dengan sifat-sifatnya. arti kata “Asma” artinya nama dan “husna” artinya baik atau indah, jadi asma’ul husna adalah nama-nama Tuhan yang baik dan indah.
Asmaul Husna mengacu pada nama, gelar, gelar dan sifat Allah SWT yang baik dan baik. Istilah Asmaul Husna juga disampaikan oleh Allah SWT dalam Surat Thaha:8 yang artinya:
“Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Dia memiliki asmaa’ul husna (nama-nama baik)” (Q.S. Thaha: 8).
Nama Tuhan yang mulia dan agung adalah keagungan dan kekuasaan Tuhan, sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta beserta isinya. Bagi umat Islam, salah satu cara mengenal Allah adalah dengan mempelajari sifat-sifat Allah dan mengenal 99 Nama Allah (99 Nama Allah).
Kata asmaul husna berasal dari bahasa arab Al-Asmaau yang berarti nama, banyak nama dan al-Husnaa yang berarti baik, indah. Tengah Menurut istilah asmaul husna artinya nama-nama baik Allah. Asmaul Husna hanya layak diambil oleh Allah SWT, sesuai dengan keagungan dan keagungannya. Asmaul husna Allah itu sempurna, sedangkan nama yang baik bagi manusia banyak kelemahannya.
Dalam kitab Asbabunnuzul dijelaskan bahwa suatu hari Nabi berdoa di Mekkah dan berdoa dengan kata-kata: “Ya Rahman, Ya Rahim.” kemudian doa itu didengar oleh beberapa orang musyrik. pada waktu itu kamu orang-orang musyrik berkata: “Waspadalah terhadap orang-orang yang murtad dari agamanya! Dia melarang kami memanggil dua Tuhan, dan dia juga memanggil dua Tuhan.”
قل ادعوا الرحمن ايا تدعواء الحسنى تجافت بسلافت بيافتغا ا التولون سبيلا
Katakanlah: “Panggil Allah atau panggil Ar-Rahman. Dengan nama apa pun Anda memanggilnya, Dia memiliki nama Tuhan dan jangan meninggikan suara Anda atau meremehkannya dan mencari jalan tengah di antara keduanya.” (QS Al-Isra: 110).
Berdasarkan Surat Al-Isra: 110, kaum musyrik mengira bahwa Rasulullah menyebut nama Allah dan Ar-Rahman karena mereka mengetahui bahwa di daerah Yamamah ada seorang laki-laki bernama Rahman. Dengan turunnya Q.S. al-Isra ayat 110, ini menghilangkan kecurigaan (politeistik). kemudian di ayat lain Allah SWT berfirman:
“Asmaul Husna hanya milik Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan mengucapkan Asmaul Husna dan tinggalkan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dengan nama-Nya. Nanti dia akan diberi pahala atas perbuatannya.” (Q.S. Al-A’raf: 180) Al Wahhab adalah salah satu sifat Allah yang berarti Yang Maha Kuasa. Hadiah adalah “hadiah tanpa imbalan dan bunga”.
Memang, jika banyak hadiah seperti ini, maka pihak yang memberi hadiah bisa disebut dermawan.
Sifat filantropi berbeda dengan sifat Al Wahhab, karena setiap orang filantropi selalu membutuhkan imbalan, bisa berupa materi atau imbalan. Sangat berbeda dengan Tuhan, Dia adalah Al Wahhab, Dzat yang memberikan setiap manusia apa yang dia butuhkan, bukan untuk mendapatkan imbalan atau bunga, sekarang atau di masa depan. Maka barangsiapa berhibah sesuatu dengan maksud agar kepentingannya cepat atau lambat terwujud. maka itu bukan Al Wahhab.
Siapapun yang memiliki niat, tetapi mencapainya dengan memberi dengan murah hati, dianggap menunggu hadiah.
‘Kebajikan sejati adalah memberi manfaat dan manfaat bagi orang lain, tetapi tidak bagi orang yang memberi keuntungan.
Makna kalimat “Al Wahhab” menegaskan bahwa sebenarnya tidak dapat terbayangkan dalam pikiran, tentang adanya orang yang memberi, orang yang membutuhkan tanpa mengharapkan imbalan atau tujuan duniawi atau ukhrawi, selain Allah SWT. .
Karena siapa pun yang memberi disertai dengan tujuan duniawi atau spiritual, apakah itu untuk mendapatkan pujian, mendapatkan persahabatan, menghindari rasa bersalah atau mendapatkan rasa hormat, itu bukanlah “Wahhab”. Tidak mungkin ciptaan selalu memberikan persahabatan, padahal Allah SWT dapat memberikannya terus menerus dan tanpa batas.
(Mereka berdoa): Ya Tuhanku, biarkanlah hati kami tunduk pada kejahatan setelah Engkau memberi kami hidayah, dan mohon berilah kami rahmat dari-Mu, karena sesungguhnya Engkaulah Pemberi (pemberian).” (QS Ali Imran: 8)
“(Nabi Sulaiman) berkata, Ya Tuhanku, ampunilah aku dan berilah aku kerajaan yang tidak akan ada setelahku, sesungguhnya Engkaulah Pemberi yang Terbaik.”
Al Wahhab, Dia Maha Pemberi. Rahmat-Nya tidak bersyarat, juga tidak terbatas. Itu tak terukur, juga berharga. Tidak ada yang bisa menandingi pemberiannya. Juga tidak ada orang yang bisa menghitung kasih karunia-Nya. Ia menganugerahkan awan langit, agar manusia di bumi terlindung, agar air kembali ke bumi dan menyuburkan tanah, sehingga penulis juga mendapat ilham. Diberikan penampilan manusia yang paling baik, akal budi yang paling tinggi, rasa yang paling dalam, kekuatan untuk berusaha semaksimal mungkin.
Jika Allah SWT memberi kita lebih banyak karunia, kecerdasan, akal dan pikiran yang jernih, maka jika ada orang lain yang membutuhkan anugerah yang kita miliki, kita juga harus mengembalikannya kepada orang itu.
Saat kita tahu ada yang hilang, barulah kita memberikan harta dengan ikhlas. Ketika kita melihat seseorang berjuang untuk melakukan sesuatu, kita memberikan bantuan berupa harta, pikiran, tenaga, motivasi, kekhususan, dll. tanpa pamrih, tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Allah menjamin rezeki setiap makhluk. Jaminan Allah kepada makhluk-Nya tidak dapat diartikan jika menginginkan sesuatu dapat dicapai tanpa usaha. Kita adalah makhluk, kita harus berusaha mencari rejeki yang telah Allah SWT siapkan untuk kita. Digunakan secara sah dan benar, sesuai dengan aturan/ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Ar Razzaq tidak hanya membagikan rejeki kepada manusia tetapi Allah SWT memberikan rezeki kepada semua makhluk-Nya. Burung dalam sangkar, cacing dalam tanah, tumbuhan, janin dalam kandungan, bahkan hewan dan tumbuhan bersel tunggal yang tidak terlihat oleh indera kita. Semua rezeki yang Allah berikan tidak akan pernah ada habisnya.
Kesadaran akan jaminan rejeki dari Tuhan harus kuat. Pengaturan antara bayi dan orang dewasa berbeda. Jaminan rezeki Allah berbeda dengan jaminan nafkah orang tua kepada anaknya. Bayi menunggu makanan siap dan menunggu untuk diberi makan. Bagi manusia dewasa, Allah SWT menyiapkan sarana dan manusia disuruh bercocok tanam.
“Dia yang menjadikan bumi mudah bagimu (untuk kemaslahatan), maka berjalanlah ke segala arah dan makanlah dari rezeki-Nya.”
Agama menekankan perlunya kita berusaha dan jika usaha kita tidak berhasil, karena satu dan lain halangan, maka kita disuruh ‘hijrah’.
Sebaliknya, manusia harus memiliki sifat “qana’ah” (kemauan hati), yang berarti menerima atau merasa puas. Namun tidak cukup puas dengan apa yang telah dicapai, namun kepuasan tersebut harus didahului oleh tiga hal:
3) Dengan senang hati merelakan apa yang telah diperoleh, karena puas dengan rezeki/apa yang telah dicapai sebelumnya.
Oleh karena itu, usaha maksimal dan keterampilan harta, belum mampu mengantarkan manusia untuk memiliki sifat qana’ah yang dianjurkan oleh agama ini. Apalagi jika mereka tidak suka mengorbankan sebagian mata pencahariannya untuk apa yang telah mereka capai dan miliki.
Rasulullah SAW pernah memuji burung karena keberuntungannya. Burung keluar dengan lapar di pagi hari dan kembali dengan puas di malam hari. Apa yang dikatakan Rasulullah SAW adalah benar. Namun harus diingat dan ditiru bahwa burung tidak berdiam diri di sarangnya, mereka terbang untuk mencari makan. Seperti itulah manusia.
Menggunakan rizki dengan baik dan benar merupakan salah satu bukti rasa syukur seorang hamba kepada Tuhannya. Adapun rezeki materi, Anda tidak harus menghabiskan semuanya. Ada yang bisa ditabung untuk persiapan kebutuhan tak terduga dan disediakan sesuai ajaran agama.
Oh, mereka yang mempercayai saya, jika mereka datang kepada saya, maka mereka tidak akan datang.
“Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah kuberikan kepadamu sebelum datangnya hari itu, tidak akan ada lagi jual beli dan syafaat, dan orang-orang kafir adalah orang-orang yang melampaui batas” .
Teladan akhlak Ar Razzaq membuat kita bisa rajin, cerdas dan ikhlas dalam membesarkan rizki. Itu juga membutuhkan kerelaan kita untuk berbagi, memberi, beramal kepada sesama dan kepada makhluk lain di alam semesta. Karena rezeki yang kita terima adalah milik Allah ar-Razzak. Dan sikap dermawan, senang berbagi dengan sesama (tidak pelit/pelit) adalah sikap seorang hamba Allah yang beriman kepada ar-Razzak. Jika kita cek al-Wahhab sepertinya tidak ada informasi tentang kedermawanan. Allah SWT dari sisi ekonomi yang kita butuhkan untuk hidup. Dalam Asma al-Wahhab itu seperti anugerah yang sifatnya lebih umum dan tidak terkait dengan kebutuhan khusus kehidupan manusia.
Saya tidak ingin rezeki dari mereka dan saya tidak ingin mereka memberi makan saya. Sesungguhnya Allah adalah pemberi rezeki, yang memiliki kekuatan dan sangat kuat. (Qs. Adz-Dzariyat, 51:57-58)
Apakah kamu meminta kepada mereka pahala?”, maka pahala Tuhanmu lebih baik, dan Dia sebaik-baik pemberi rezeki.
Dan orang-orang yang berhijrah ke jalan Allah, lalu terbunuh atau mati, pasti Allah akan memberikan kepada mereka rizki yang baik (Surga). dan sesungguhnya Allah sebaik-baik pemberi nafkah
Dengan mengacu pada tiga firman Allah SWT, kita dapat menemukan informasi bahwa Allah SWT memperkenalkan dirinya sebagai ar-Razzaq, Sang Pemberkah Rezeki Yang Agung. Keberuntungan dipahami dalam bentuk hidayah, hidayah, keberkahan, kekayaan alam dan juga pahala akhir di akhirat (surga Allah SWT).
‘ Mengutip data yang terdapat dalam Konkordansi Alquran, setidaknya ada 42 ayat yang mengandung kata razaqa.[1] Namun, hanya ada satu ayat yang menggunakan kata ‘ar-Razaqa’ untuk menyebut nama Allah SWT, yaitu dalam surat adz-Dzariyat, ayat 58.
Menurut Quraish Shihab, kata ar-Razzaq berasal dari kata ini